Senin, 01 Oktober 2012

Kekerasan Yang Takpenah Sepi



Kekerasan Yang Tak Pernah Sepi

Ada yang menghawatirkan dengan fasilitas umum di negeri ini akhir – akhir ini. Masih segar di ingatan kita tentang tragedi Tugu Tani yang merenggut sembilan nyawa dalam sekejap. Trotoar yang menjadi hak pejalan kaki seakan tidak menjadi tempat yang aman bagi pejalan kaki di negeri ini.
Beralih dengan kekerasan terhadap wanita yang mungkin terasa akrab di telinga kita. Walaupun negeri ini telah memiliki komnas perlindungan anak dan perempuan, namun kekerasan ini tak pernah sepi  dari pemberitaan.
Di awali dengan kekerasan rumah tangga, kemudian para tenaga kerja yang sering kali sampai ke negeri ini tidak dalam keadaan selamat. Dan yang telah meresahkan akhir – akhir ini adalah kekerasan pada angkutan umum.
Komnas perempuan mencatat, setiap hari, sedikitnya empat perempuan menjadi Korban kekerasan di ruang publik. Data ini bukan hanya dalam satu atau dua tahun terakhir, melainkan dalam kurun waktu 13 tahun, yakni dari tahun 1998 sampai dengan 2011. Jumlah kasus kekerasan seksual di ruang publik sebanyak 22.284 kasus dan merupakan urutan kedua terbanyak dari semua kasus kekerasan seksual yang mencapai 93.960 kasus.
Perih memang, mengingat wanita adalah makhluk lemah yang seharusnya dilindungi, bukan makhluk lemah yang semakin mudah untuk disakiti. Tapi, mengapa kekerasan tersebut selalu muncul. Siapakah yang perlu di benahi, Apakah pelakunya yang telah menghilangkan nilai – nilai moral. Apakah para penegak hokum di negeri ini yang tidak berkomitmen atau mungkin wanita – wanita itu sendiri yang tidak pintar berantisipasi dan acap kali mengundang kejahatan.
Berbagai upaya juga telah dilakukan pemprov untuk mencegah kejahatan terhadap perempuan di dalam angkutan umum. Upaya ini antara lain mencopot kaca film angkutan umum yang melebihi ketentuan, mengharuskan sopir memakai seragam dan memiliki kartu identitas, serta melakukan razia dan pengawasan di terminal.
Baru – baru ini muncul pula rencana kebijakan selanjutnya, yakni kebijakan pemisahan penumpang laki – laki dan perempuan. Namun, kebijakan ini dirasakan sulit untuk direalisasikan, mengingat pada akhirnya dapat mengukuhkan stigmatisasi korban perempuan. Misalnya, harus dipandang sebagai langkah darurat dan sementara. Dalam kereta khusus wanita misalnya, jika ada perempuan mengalami pelecehan seksual di kereta campuran, ia berpotensi di salahkan karena tidak memilih kereta khusus wanita yang telah disediakan.
Namun, semua upaya belum sempurna jika tidak didukung masyarakat. Penumpang, misalnya, harus membiasakan diri tidak naik angkutan umum yang gelap, yang pengemudinya tidak berseragam dan ugal-ugalan.
Dengan adanya tekanan sosial dari masyarakat, sopir – sopir yang tidak benar akan tersingkir dengan sendirinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BTricks