Kekerasan
Yang Tak Pernah Sepi
Ada
yang menghawatirkan dengan fasilitas umum di negeri ini akhir – akhir ini.
Masih segar di ingatan kita tentang tragedi Tugu Tani yang merenggut sembilan
nyawa dalam sekejap. Trotoar yang menjadi hak pejalan kaki seakan tidak menjadi
tempat yang aman bagi pejalan kaki di negeri ini.
Beralih
dengan kekerasan terhadap wanita yang mungkin terasa akrab di telinga kita.
Walaupun negeri ini telah memiliki komnas perlindungan anak dan perempuan,
namun kekerasan ini tak pernah sepi dari
pemberitaan.
Di
awali dengan kekerasan rumah tangga, kemudian para tenaga kerja yang sering
kali sampai ke negeri ini tidak dalam keadaan selamat. Dan yang telah
meresahkan akhir – akhir ini adalah kekerasan pada angkutan umum.
Komnas
perempuan mencatat, setiap hari, sedikitnya empat perempuan menjadi Korban kekerasan
di ruang publik. Data ini bukan hanya dalam satu atau dua tahun terakhir,
melainkan dalam kurun waktu 13 tahun, yakni dari tahun 1998 sampai dengan 2011.
Jumlah kasus kekerasan seksual di ruang publik sebanyak 22.284 kasus dan
merupakan urutan kedua terbanyak dari semua kasus kekerasan seksual yang
mencapai 93.960 kasus.
Perih
memang, mengingat wanita adalah makhluk lemah yang seharusnya dilindungi, bukan
makhluk lemah yang semakin mudah untuk disakiti. Tapi, mengapa kekerasan
tersebut selalu muncul. Siapakah yang perlu di benahi, Apakah pelakunya yang
telah menghilangkan nilai – nilai moral. Apakah para penegak hokum di negeri
ini yang tidak berkomitmen atau mungkin wanita – wanita itu sendiri yang tidak
pintar berantisipasi dan acap kali mengundang kejahatan.
Berbagai
upaya juga telah dilakukan pemprov untuk mencegah kejahatan terhadap perempuan
di dalam angkutan umum. Upaya ini antara lain mencopot kaca film angkutan umum
yang melebihi ketentuan, mengharuskan sopir memakai seragam dan memiliki kartu
identitas, serta melakukan razia dan pengawasan di terminal.
Baru
– baru ini muncul pula rencana kebijakan selanjutnya, yakni kebijakan pemisahan
penumpang laki – laki dan perempuan. Namun, kebijakan ini dirasakan sulit untuk
direalisasikan, mengingat pada akhirnya dapat mengukuhkan stigmatisasi korban
perempuan. Misalnya, harus dipandang sebagai langkah darurat dan sementara.
Dalam kereta khusus wanita misalnya, jika ada perempuan mengalami pelecehan
seksual di kereta campuran, ia berpotensi di salahkan karena tidak memilih
kereta khusus wanita yang telah disediakan.
Namun,
semua upaya belum sempurna jika tidak didukung masyarakat. Penumpang, misalnya,
harus membiasakan diri tidak naik angkutan umum yang gelap, yang pengemudinya
tidak berseragam dan ugal-ugalan.
Dengan
adanya tekanan sosial dari masyarakat, sopir – sopir yang tidak benar akan
tersingkir dengan sendirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar